Assalamu'alaikum wr wb. Welcome to my blog, barakallahu lakum

Kamis, 08 November 2012

Tugas 1 (Aktivitas Hal 151)


Tugas 1 (Aktivitas Hal 151) 
 Kelompok mayoritas adalah orang-orang yang memiliki kekuasaan, menganggap dirinya normal dan memilik derajat lebih tinggi. (Kinloch). Contohnya : Agama Islam yaitu agama yang paling banyak dianut oleh penduduk Indonesia. Agama Islam menjadi agama mayoritas warga Indonesia

Kelompok minoritas adalah mereka yang tidak memiliki kekuasaan, dianggap lebih rendah karena memiliki ciri tertentu: cacad secara fisik ataupun mental sehingga mereka mengalami eksploitasi dan diskriminasi. (Kinloch, 1979: 38). Contohnya : Etnis Tionghoa yang bertempat tinggal di Indonesia. Etnis Tionghoa menjadi etnis minoritas di Indonesia.
Mayoritas dan minoritas adalah terminologi sosiologis untuk merujuk kuantitas individu yang berhimpun dalam suatu kesatuan etnisitas. Sebagai sebuah konsep, istilah ini sering digunakan untuk membangun kerangka analisis relasi sosial satu kelompok dengan kelompok yang lainnya.
Sebagai sebuah diksi, mayoritas-minoritas sesungguhnya sudah mengandung makna politik di mana yang satu merujuk pada kumpulan individu yang berjumlah banyak dan biasanya lebih supreme dalam banyak hal; sedangkan yang satu lagi merujuk pada kumpulan individu yang lebih sedikit, yang secara kuantitas tidak mungkin lebih supreme dari yang mayoritas.
Kumpulan banyak individu dan kumpulan sedikit individu sejatinya merupakan fakta sosiologis sebuah komunitas. Karena itu, sejatinya pula siapapun yang berhimpun dalam kelompok manapun tetap memiliki hak, kesempatan, dan akses yang sama dalam segala hal. Namun demikian, ketika soal mayoritas-minoritas hadir di tengah kontestasi politik sebuah bangsa, maka kedua terminologi ini semakin menampakkan makna poltiknya. Istilah relasi mayoritas versus minoritas merupakan rangkaian kata yang meletakkan kedua istilah itu saling berlawanan karena itu relasi keduanya harus didesain agar tetap terbangun hubungan yang harmonis, tanpa diskriminasi, dan meletakkan siapapun yang berhimpun di dalamnya tetap setara.
Dalil Mayoritas
Dengan menggunakan cara pandang di atas, semestinya bangsa Indonesia tidak lagi mengidap soal terkait relasi mayoritas-minoritas dalam hidup berbangsa. Apalagi Konstitusi RI secara tegas meletakkan seluruh warga negara tanpa terkecuali memiliki hak dan jaminan konstitusional yang sama. Tapi, perkembangan mutakhir dalam kehidupan beragama dan berbangsa di Indonesia menunjukkan kecenderungan yang mencemaskan. Daftar kecemasan muncul dari kecenderungan intoleransi sesama warga yang semakin eskalatif. Tindakan intoleran mewujud dalam banyak hal: 28 rumah ibadah diserang, disegel atau dirusak sepanjang Januari-Juli 2010 (SETARA Institute, 2010), penghalang-halangan kegiatan ibadah, tiga peristiwa penyerangan terhadap jemaat Ahmadiyah sepanjang bulan Juli, bentrokan organisasi masyarakat berbasis identitas tertentu, dan berbagai bentuk penghakiman massa lainnya.
Daftar kecemasan juga mewujud melalui kehendak politik sejumlah elit politik, organisasi massa berbasis agama, dan dukungan manipulatif massa di berbagai wilayah yang menghendaki penerapan norma agama tertentu (baca: syariah Islam) melalui produksi peraturan perundang-undangan. Semua tindakan intoleran dan kehendak politik penyeragaman atas nama agama dan moralitas semuanya didasarkan pada logika mayoritas. Semua tindakan dan kehendak politik itu dinilai sahih karena dalil mayoritas. Sementara para korban tindakan intoleran dianggap sahih dan menjadi sasaran penyeragaman karena secara sosiologis dianggap minoritas. Argumen ‘sesat’ dan mengganggu ‘ketertiban umum’ adalah pembalut niat menegaskan identitas politik kelompok mayoritas.
Dimensi sosiologis dalam produksi sebuah kebijakan dan penegakannya telah menjadi pertimbangan pertama dan utama oleh para penyelenggara negara meski mengingkari Konstitusi RI dan fakta sosiologis itu sendiri. Bagaimana mungkin sebuah negeri yang menganut paham konstitusional para penyelenggaranya tunduk pada tekanan dan persekusi massa! Berbagai gambaran peristiwa yang terjadi belakangan menampakkan secara jelas bagaimana logika mayoritas bekerja.
Memang dalam disiplin Ilmu Hukum dan Ilmu Perundang-undang dimensi sosiologis menjadi variabel penilai kepekaan sebuah produk perundang-undang. Semakin peka dan akomodatif terhadap kebutuhan publik maka produk hukum dan penegakan hukum semakin mampu mengikis resistensi publik. Apalagi salah satu tujuan pembentukan produk hukum adalah menjawab kebutuhan publik. Tapi penempatan dan penggunaan argumen sosiologis tanpa batas tentu saja bukan desain yang diharapkan dari kajian Sosiologi Hukum.
Kesadaran Orsinal
Kecenderungan mutakhir menguatnya arus politik penyeragaman atas nama agama dan moralitas sesungguhnya telah diingatkan oleh founding fathers negara-bangsa Indonesia. Perdebatan sehat yang terjadi di Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) di tahun 1945 menggambarkan bagaimana para Pendiri Bangsa memiliki kesadaran orsinal dalam meletakkan bangunan relasi mayoritas-minoritas. Upaya menyusun Konstitusi RI yang mampu mengakomodasi semua golongan dan menjamin hak-hak asasi manusia tanpa terkecuali bukanlah bentuk kekalahan politik golongan Islam atas golongan Kebangsaan. Tapi justru bentuk kesadaran orsinal wakil-wakil dari golongan Islam yang mayoritas.
Para Pendiri Bangsa menyadari fakta sosiologis bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang plural dan tidak mungkin diseragamkan apalagi dengan menggunakan instrumen konstitusi negara. Demikian juga kesadaran orsinal itu mewujud pada, meskipun pada dasarnya setiap warga yang beragama berkewajiban menjalankan ajaran-ajarannya tapi pencantuman pewajiban melaksanakan ajaran agama dalam Konstitusi RI akhirnya dihilangkan. Kesadaran orsinal semacam ini yang sekarang telah terkikis dalam kehidupan berbangsa. Bukan saja di kalangan masyarakat umum tapi juga di kalangan para penyelenggara negara itu sendiri.
Berbagai tindakan intoleran dan kehendak politik penyeragaman atas nama agama dan moralitas semakin subur di tengah kemiskinan ide dan kapital politik para elit politik. Elit politik berkepentingan terhadap dukungan publik atas kepemimpinannya, sehingga dalil mayoritas menjadi pembenar langkah pemerintah mengambil sebuah keputusan, meski keputusan itu inkonstitusional. Sementara kelompok penekan dan pelaku persekusi memiliki kepentingan untuk secara terus menerus mendongkrak bargaining position di hadapan elit politik dan juga di aras publik.
Impunitas pelaku kekerasan atas nama agama secara nyata telah menjadi preseden bagi kelompok lain di tempat lain untuk melakukan hal serupa. Ketidakmampuan institusi negara menghukum pelaku kriminal telah berkontribusi pada eskalasi tindakan intoleran.
Merawat Indonesia yang plural, toleran, dan damai hanya bisa dilakukan jika elemen bangsa mampu menumbuhkan kesadaran orsinal untuk mengakui keberagaman, membiarkannya berbeda, dan menegaskan jaminan bagi setiap orang memiliki hak, kesempatan dan akses yang setara[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar