Tugas 5 (Artikel realitas keberagaman masyarakat indonesia)
Negara Indonesia adalah
negara yang plural dalam hal agama dan aliran kepercayaan. Kendatipun demikian,
di tengah realitas yang pluralistik tersebut hadir juga denominasi besar yang
menjadi golongan mayoritas di negeri ini. Adanya golongan mayoritas dalam suatu
negara terkadang selalu menimbulkan kekuatiran di kalangan minoritas akan
munculnya tirani mayoritas terhadap minoritas. Peta sejarah bangsa ini sejak
kemerdekaannya hingga beberapa tahun terakhir ini diwaranai juga tendensi
tirani mayoritas terhadap minoritas. Isu-isu SARA yang dihembuskan oleh
kelompok-kelompok radikal telah menimbulkan luka yang dalam bagi sebagian anak
bangsa. Tengok saja mulai dari kerusuhan Poso, Ambon, peristiwa pembakaran
berbagai fasilitas umum termasuk rumah-rumah ibadat Katolik dan Kristen yang
terjadi tahun 1996 di Situbondo dan Majalaya, penutupan secara paksa berbagai
rumah ibadat seperti Bukit Duri, sampai dengan usaha gencar pemberlakuan
Syariat Islam di negara Indonesia yang berasaskan Pancasila dan UUD 1945 serta
menganut sistem pemerintahan yang demokratis. Terakhir yang masih segar
dalam ingatan kita, kehadiran Ahmadiah yang dilihat sebagai batu sandungan.
Dari rangkaian fenomena tersebut, lantas kita bertanya: apakah bangsa Indonesia
tidak menghargai realitas pluralisme agama dan kebenaran yang terkandung di
dalamnya? Apakah bangsa Indonesia tidak menghargai kebebasan beragama antar
para warganya? Lalu, apakah Gereja Katolik sebagai salah satu golongan
minoritas di negeri ini juga mempunyai potensi menjadi tirani mayoritas di
negara lain? Oleh karena itu, penting dilihat bagaimana sikap Gereja Katolik
sendiri untuk menyikapi kesadaran baru akan realitas pluralisme dunia dan
kebenaran termasuk dalam agama. Dalam kaitannya dengan hal itu, kebebasan
beragama sebagai salah satu Hak Asasi Manusia mendapatkan perhatian khusus
Gereja Katolik dalam Konsili Vatikan II yang tertuang dalam Deklasi Dignitatis
Humanae. Namun, untuk kepentingan tulisan ini, kami hanya memfokuskan diri pada
artikel satu. Setelah dilihat ajaran Gereja Katolik tentang pokok tersebut,
akan dilihat juga realitas kebebasan beragama di Indonesia baik dalam idealisme
maupun praksisnya dalam terang ajaran Gereja Dignitatis Humanae art.
1.
Kebebasan Beragama
Menurut Dokumen Deklarasi Dignitatis Humanae art. 1
Dokumen ini terdiri dari dua bagian dengan
jumlah keseluruhan artikelnya ada limabelas buah. Namun, untuk tujuan tulisan
ini akan dilihat pengantar dokumennya saja (DH art. 1). Dalam
pendahuluan dokumen ini kita akan menemukan alasan mengapa Gereja merasa perlu
untuk meneliti dan mengeluarkan sebuah deklarasi tentang kebebasan beragama.
Hal ini tidak telepas dari perubahan paradigama dalam teologi dan praksis hidup
Gereja Katolik sendiri terhadap agama-agama lain yang berubah sejak Konsili
Vatikan II. Sejak Vatikan II, Gereja mulai menghargai adanya kebenaran di luar
agama Katolik. Oleh karena itu, perlu digagas suatu pegangan untuk bagaimana
seharusnya bersikap terhadap keyataan akan adanya pluralisme kebenaran di luar
Gereja Katolik sendiri. Salah satunya adalah dekrit tentang “kebebasan
beragama”.
Dekrit tentang “kebebasan beragama” ini
bertolak dari beberapa kesadaran baru yang tumbuh dalam dunia dewasa ini. Dalam
artikel pertama domumen ini, kita temukan dasarnya yang pertama yakni:
kesadaran dan penghargaan atas martabat pribadi manusia yang semakin meluas.
Gereja menyadari bahwa penghargaan terhadap arti penting martabat manusia kian
meluas. Hal ini nyata dalam deklarasi PBB akan pentingnya menghargai Hak Asasi
Manusia (HAM) yang merupakan hak dasar manusia yang diperoleh sejak
lahirnya. Deklarasi tentang HAM ini semakin diterima luas oleh bangsa-bangsa di
dunia. Salah satu poin HAM adalah kebebasan seseorang untuk memilih dan memeluk
suatu agama tertentu tanpa adanya paksaan dari pihak manapun. Karena itu,
Gereja sadar bahwa aspek penghargaan terhadap kebebasan beragama adalah
merupakan salah satu upaya untuk menghargai martabat pribadi manusia.
Kedua, dikatakan juga bahwa
“makin banyak orang yang menuntut supaya dalam bertindak manusia sepenuhnya
menggunakan pertimbangannya sendiri serta kebebasannya yang bertanggung jawab,
bukannya terdorong oleh paksaan dari pihak manapun.” Penghargaan terhadap
kebebasan yang bertanggung jawab bagi setiap orang dalam bertindak erat terkait
dengan penghargaan terhadap otonomi pribadi dalam memutuskan sesuatu
berdasarkan tuntunan suara hatinya. Karena melalui tuntunan suara hatinya,
setiap orang bisa mencari sendiri dan menemukan kebenaran bagi dirinya sendiri.
Kebenaran yang dianut secara bebas menurut pertimbangan nuraninya secara
bertanggung jawab harus dihargai. Dengan demikian, pemaksaan oleh pihak manapun
untuk bertindak melawan suara hatinya sendiri termasuk dalam memilih suatu
agama maupun menghalang-halangi seseorang mengungkapkan iman dan kepercayaannya
baik secara pribadi maupun secara kolektif di depan umum adalah tidak benar.
Ketiga, banyak juga yang
menuntut agar wewenang pemerintah dibatasi secara yuridis, agar batas-batas
kebebasan yang sewajarnya baik pribadi maupun kelompok jangan dipersempit. Erat
terkait dengan hal ini adalah pengamalan agama secara bebas dalam masyarakat
yang tidak dibatasi oleh negara. Maksudnya, Konsili mau mengatakan bahwa
penting menghargai kebebesan seseorang untuk menuruti suara hatinya dalam
mengamalkan ajaran agama sebagai kebenaran yang dianutnya baik secara pribadi
maupun kolektif. Karena itu, segala kuasa manusiawi manapun termasuk negara
tidak dapat menghalang-halangi ekspresi keagamaan seseorang baik secara
individual maupun kolektif. Jika terjadi bahwa seseorang dilarang mengamalkan
agamanya secara bebas dalam masyarakat, maka yang terjadi sesungguhnya adalah
ketidakadilan terhadap pribadi manusia dan tata sosial yang ditetapkan Allah
baginya. Karena bagaimana pun juga tindakan-tindakan keagamaan perseorangan
maupun bersama untuk mengarahkan diri kepada Allah “mengatasi tata duniawi yang
fana..” Oleh karena itu, Konsili mengimbau agar pemerintah yang berkewajiban
mengusahakan kesejahteraan umum wajib mengakui kehidupan beragama para warganya
dan mendukungnya. Apabila pemerintah memberanikan diri mengatur dan merintangi
kegiatan-kegiatan religius, maka tindakannya melampai batas wewenangnya.
Itulah ketiga alasan mengapa Konsili
mengeluarkan dokumen ini guna mempertimbangkan aspirasi-aspirasi tersebut dan
mau menegaskan bahwa semuanya itu selaras dengan asas kebenaran dan keadilan.
Dalam kerangka ini, maka seturut spiritnya, Konsili meneliti Tradisi serta
ajaran suci Gereja untuk menggali harta baru yang senatiasa selaras dengan
khazanah lama. Artinya, Konsili mencoba untuk melihat kebenaran di luar agama
lain tanpa harus menegasi tradisi dan keyakinan Gereja Katolik sendiri.
Oleh karena itu, untuk mempertahankan
tradisi, Konsili kembali mengaskan bahwa satu-satunya agama yang benar itu
berada dalam Gereja Katolik dan apostolik, yang oleh Tuhan Yesus sendiri
diserahi tugas untuk menyebarluaskannya kepada semua orang: “Pergilah,
jadikanlah semua bangsa muridKu dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Putera
dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang Kuperintahkan
kepadamu” (Mat 28:19-20). Dari pernyataan ini, kita bisa melihat bahwa
sepertinya ada kontradiksi dengan menghargai “kebebasan beragama”. Mengapa? Di
satu sisi, dengan pernyataannya tentang pentingnya kebebasan beragama, bukankah
berarti juga bahwa Gereja mengakui kebenaran yang terkandung di luar Gereja
Katolik? Di sisi lain, pernyataan bahwa “satu-satunya agama yang benar itu
berada dalam Gereja katolik” bukankah menjadi sebuah langkah mundur ke
masa-masa sebelum Konsili Vatikan II yang berprinsip “di luar Gereja tidak ada
keselamatan?” Bukanlakah dengan demikian Gereja kembali jatuh dalam fanatisme
religius atau sikap ekslusivisme yang jelas bertentangan dengan spirit zaman
yang menghargai pluralisme kebenaran?
Akan tetapi, perlulah diingat bahwa dengan
pernyataanya ini Gereja hendak menegaskan sikap dasarnya yang harus dipegang
teguh oleh para pemeluknya. Gereja tidak mau jatuh dalam relativisme terhadap
kebenaran agamanya sendiri. Dalam hubungannya dengan umat beragama lain, Gereja
Katolik menunjukkan adanya empat macam sikap yang mungkin terjadi. Pertama, sikap eksklusif yang memandang bahwa
keselamatan hanya ada dalam Gereja, sedangkan di luar Gereja tidak ada
keselamatan. Kedua, sikap inklusif yang mengakui pewahyuan dalam
agama lain dan meyakini bahwa orang beragama lain juga akan diselamtakan
melalui Yesus Kristus, juga jika mereka tidak meyadari atau mengakuinya. Ketiga,
sikap pluralis yang menganggap “semua agama sama saja” yang bisa membuat orang
kurang menyadari makna mendalam dari agama yang dipilih dan dipeluknya sendiri. Keempat,
sikap pluralis berintegritas terbuka yang mengakui dan menerima kekhasan agama
masing-masing sekaligus saling belajar dari yang lain. Seorang yang pluralis
berintegrasi terbuka akan berkata: “saya meyakini bahwa agama dan iman saya
sekarang ini adalah yang paling benar bagi saya karena itu saya anut dengan
sepenuh hati. Namun, kekhasan masing-masing agama dan kebebasan beriman dan
beragama orang lain saya akui dan terima. Dengan dialog saya dapat
menyumbangkan kekayaan iman saya dan saya juga dapat menerima kekayaan dari
agama dan penghayatan iman orang lain.” Sikap terakhir inilah yang diakui
oleh Gereja Katolik sebagai sikap yang terbaik untuk berhadapan dengan umat
yang berlainan agama atau kepercayaan.
Dengan demikian, pernyataan Gereja di atas
harus dibaca dalam terang sikap yang dimaksudkan pluralis berintegirtas
terbuka. Gereja Katolik tidak mau jatuh dalam sikap pluralisme yang menganggap
semua agama sama saja. Oleh karena itu, Konsili menegaskan bahwa “semua orang
wajib mencari kebenaran, terutama dalam apa menyangkut Allah dan
Gereja-Nya. Sesudah mereka mengenal kebanaran tersebut, mereka wajib memeluk
dan mengamalkannya” ( DH 1. par. 3).
Selain itu, Konsili mau menegaskan bahwa
kebebasan beragama yang termasuk dalam salah satu pokok Hak Asasi Manusia (HAM)
dalam menunaikan tugas berbakti kepada Allah yang dimaksudkan lebih terkait
dengan “kekebalan terhadap paksaan dalam masyarakat” dan Konsili bermaksud
mengembangkan ajaran para Paus akhir-akhir ini tentang hak-hak pribadi manusia
yang tidak dapat diganggu-gugat serta tentang penataan yuridis masyarakat. Konsili tidak bermaksud merelatifisir keyakinan asali
Gereja dengan menegaskan sekali lagi bahwa “kebebasan itu tidak mengurangi
ajaran Katolik tradisional tentang kewajiban moral manusia dan masyarakat
terhadap Agama yang benar dan satu-satunya Gereja Kristus.”
Dengan demikian, dari artikel ini nyata
bahwa Gereja Katolik mengakui pluralisme agama dan mengakui bahwa dalam
agama-agama lain pun ada kebenaran. Selain itu, Gereja Katolik juga memberi
penghargaan tinggi kepada kebebasan setiap orang untuk memeluk agama dan
beribadah menurut agama dan keyakinannya. Lalu bagaimana dengan Gereja Katolik
Indonesia sendiri? Sebagai bagian dari Gereja universal, Gereja Katolik
Indonesia juga mengakui fakta pluralisme agama dan kepercayaan di Indonesia dan
mengakui adanya kebenaran dalam agama dan kepercayaan lain. Lalu, bagaimana
relevansinya bagi kehidupan beragama di Indonesia?
Kebebasan Beragama di
Indonesia
Negara Indonesia juga mengakui fakta
pluralisme agama dalam masyarakat Indonesia. Dan negara menjamin kebebasan
setiap warga negara untuk memeluk agama dan menjalankan ibadat menurut
agama dan kepercayaannya. Pengakuan ini dieksplisitkan dalam sila pertama
Pancasila dan dalam Pembukaan UUD 1945. Pengakuan resmi ini merupakan usaha
kompromi antara kelompok nasionalis dan kelompok Islam pada awal terbentuknya
negara Indonesia. Pada mulanya, kelompok Islam menuntut dimasukkan tujuh kata
yang terkandung dalam Piagam Jakarta, 22 Juni 1945, ke dalam sila I Pancasila
yaitu: “serta kewajiban menjalankan syariat Islam bagi penganutnya.” Tujuannya,
untuk memberlakukan hukum syariat dalam segala aspek kehidupan umat Islam.
Namun usaha ini gagal dan akhirnya disepakati hanyaKetuhanan Yang Mahaesa.
Pengakuan akan adanya Tuhan ini memberi landasan bagi pengakuan akan pluralisme
agama dan kepercayaan, dan pengakuan akan kebebasan dalam menganut agama
dan menjalankan ibadah bagi setiap warga negara. Dengan demikian, para pendiri
bangsa telah mengantar kita kepada pemahaman akan kerukunan antara umat
beragama dan penghargaan akan perbedaan sebagai kekayaan.
Dalam UUD pasal 29 ayat 1 dan 2 dikatakan:
“Negara berdasarkan atas ketuhanan yang Maha Esa (ayat 1) dan Negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama masing-masing dan beribadat
menurut agama dan kepercayaannya itu (ayat 2). Rumusan-rumusan di atas
menunjukkan bahwa di negri ini semua agama berkedudukan sama di mata hukum.
Maka, pemerintah dan negara berperan penting untuk menjamin agar hak warga
negara berkaitan dengan kebebasan beragama dan kebebasan menjalankan ibadat
tidak ditindas dan dihalangi oleh kelompok lain termasuk oleh golongan mayoritas. Kehendak
bahwa negara Indonesia menjamin kebebasan warga negara untuk memeluk agama dan
kepercayaan apapun dijamin dalam konstitusi dan berbagai peraturan-perundangan
sebagai aturan pelaksana dari konstitusi. Pasal 28E Butir 1 UUDRI Tahun 1945
dinyatakan bahwa: ”Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan,
menyatakan pikiran dan sikap, sesuai hati nuraninya.[1] Secara lebih eksplisit
yang membuktikan bahwa kehendak konsitusi tersebut harus dapat diwujudkan
sebagai bagian dari perlindungan Hak Asasi Manusia di Indonesia, maka dalam
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM disebutkan dalam Pasal 22 bahwa:
”Setiap orang mempunyai kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama.” Etikad
baik Indonesia untuk dengan sungguh-sungguh menghormati Hak Asai Manusia
termasuk didalamnya jaminan hak kebebasan beragama sebagaimana ciri-ciri negara
hukum lainnya adalah bahwa Indonesia juga kemudian meratifikasi International
Covenant on Civil and Political Rights (CCPR) 1966 dengan meratifikasi kovenan tersebut
kedalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005. Jadi, SEBENARNYA tidak perlu
diragukan lagi bahwa kebebasan beragama dan berkeyakinan sangat-sangat dijamin
dalam hukum tertinggi yang berlaku di Indonesia.
Namun demikian, dalam perkembangannya
tidak semua warga negara melaksanakan kehendak hukum yang menjamin kebebasan
beragama. Dalam dinamika berbangsa dan bernegara terjadi transformasi ilmu dan
tekhnologi. Begitu juga negara, sebagai sebuah organisasi kekuasaan harus juga
menggunakan kekuasaannya tidak lain untuk mengatur bagaimana jaminan kebebasan
beragama tersebut bukan hanya Law in book namun juga LAW IN ACTION.
Hal ini menunjukkan bahwa idealisme
terkadang tidak sejalan dengan praksis hidup. Demikianpun idealisme yang
terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945 tidak selalu sejalan dengan realitas
yang berkembang. Sejak bangsa ini merdeka hingga sekarang ini idealisme ini
justru mendapatkan tantangan dari warga negaranya sendiri. Pada era Orde
Baru, Pancasila bukan lagi menjadi tata nilai yang senantiasa digeluti dan
didalami, melainkan dipaksakan untuk menjadi ideologi bagi semua partai politik
dan organisasi masa. Kebebasan beragama dipersempit menjadi agama yang resmi
diakui oleh negara yakni: Islam, Katolik, Kristen, Budha, dan Hindu. Pada masa
itu, orang dipaksa untuk memimilih salah satu dari kelima agama yang diakui.
Hal ini tidak sejalan dengan prinsip kebebasan beragama, karena negara tidak
berhak memaksakan warganya masuk ke dalam salah satu dari kelima agama
tersebut. Pembatasan hanya dalam lima agama yang diakui juga menunjukkan bahwa
pemerintah Orde Baru telah berlaku tidak adil terhadap agama-gama di luar itu
yang lazim disebut sebagai aliran kepercayaan (Kebatinan, Agama Jawa-Sunda,
Konghucu, Zen, dll). Orang yang tidak menganut salah satu dari kelima agama
tersebut bisanya diperlakukan tidak adil di depan hukum.
Selain itu, wacana mengenai pemberlakuan
syariat Islam yang dibungkam pada masa orde baru mencuat kembali dalam
tahun-tahun belakangan ini. Peluang berlakunya syariat Islam di Indonesia
semakin terbuka lebar setelah berlakunya Undang-Undang Otonomi Daerah tahun
2001. Walaupun dalam Undang-Undang tersebut dinyatakan bahwa urusan politik dan
agama berada dalam wewenang pusat, namun beberapa daerah mengartikan otonomi
sebagai kebebasan membuat aturan sendiri juga mengenai syariat Islam.
Terkabulnya tuntutan pemberlakuan syariat Islam di Aceh mendorong daerah-daerah
lain, seperti Sulawesi Selatan dan Jawa Barat menuntut hal yang sama.
Tampilanya kelompok Front Pembela Islam (FPI) yang menggunakan cara-cara
kekerasan dalam menegakkan ajaran-ajaran Islam merupakan bagian dari
upaya-upaya untuk menegakan hukum Islam. Akan tetapi, survei yang dilakukan
Lembaga Survei Indonesia (SLI) Oktober 2006 menyebutkan
bahwa dari 1.092 informan yang diwawancarai mengatakan, 80 persen umat Islam
Indonesia menganggap bahwa Pancasila dan UUD 1945 sejalan dengan Islam.
Demokrasi sudah searah dengan Islam, dan demokrasi senapas dengan Pancasila.
Hanya 5 persen yang mempertentangkan Pancasila dengan Islam. Sementara itu,
dukungan terhadap organisasi-organisasi sosial keagamaan seperti terhadap
Majelis Mujahidin Indonesia yang pro syariat Islam hanya 16,1 persen, dan 17,4
persen mendukung jemaah Islamiah.
Data survei SLI di atas dapat
dijadikan sebagai patokan untuk mengukur bagaimana sebenarnya respons umat
Islam atas maraknya tuntutan pemberlakuan syariat Islam di Indonesia yang
diawali dengan bermunculannya perda-perda bernuansa syariat Islam, seperti
Peraturan Daerah (Perda) Minuman Keras, Perda Pelacuran, Perda Jilbab, dll. Di
DIY ada usulan perlunya sebuah Perda bagi wanita pegawai pemerintahan dan
pelajar-mahasiswa DIY yang diusulkan oleh Forum Umat Islam Yogyakarta. Walaupun
demikian, jelas bahwa sebagian besar umat Islam tidak menyetujui pelaksanaan
hukum syariat Islam yang dikontrol oleh negara, sebab dikhawatirkan akan
melahirkan pemaksaan dan hilangnya kebebesan dalam beragama baik bagi umat
Islam sendiri maupun umat non-Islam. Kelompok minoritas juga tidak setuju
dengan pemberlakuan syariat Islam, karena jika syariat Islam diberlakukan, maka
mereka akan menjadi warga negara nomor dua dan tidak memiliki hak yang sama
dengan kaum muslim yang mayoritas di depan hukum.
Carut-marut kehidupan beragama di
Indonesia yang bertendensi tirani mayoritas juga dipengaruhi oleh kebijakan
publik yang tidak pluralis, yang menciptkan persoalan antar umat beragama.
Misalnya, terbitnya Surat Keputusan Bersama (SKB) no. 10/BER/MDN-MAG/1969
tentang pendirian rumah ibadat. Surat keputusan ini tidak sejalan dengan semangat
pluralis Pancasila dan UUD 1945 karena tidak menguntungkan bagi kelompok agama
minoritas. Kalangan minoritas menjadi kesulitan dan dipersulit dalam membangun
rumah ibadat karena tidak mendapat izin dari otoritas lokal. Dan bahkan
tempat-tempat ibadat yang sudah dibangun banyak yang ditutup secara paksa oleh
umat beragama tertentu dengan alasan tidak mendapat izin dan menimbulkan
keresahan di kalangan warga setempat, padahal orang sangat memerlukan tempat
ibadat. Pemerintah sendiri yang seharusnya bertugas mengusahakan kesejahteraan
umum sepertinya tidak menunjukkan upaya yang serius untuk menyelesaikan masalah
ini.
Semua situasi yang berkembang di Indonesia
sepertinya mau menunjukkan bahwa pengakuan akan fakta pluralisme agama masih
jauh dari harapan, bahkan justru kebencian terhadap agama tertentu yang
berbuntut pada tindakan anarkisme menjadi pemandangan yang lazim di tengah
masyarakat.
Relevansi Dignitates Humanae (Arikel 1) Tehadap
Perjuangan Menegakan Kebebasan Beragama di Indonesia.
Agama merupakan sosialisasi pengalaman
iman, pengalaman disentuh oleh Yang Ilahi. Pengalaman ini memberikan makna
kehidupan dan membuat manusia menyerahkan diri kepada-Nya. Sosialisasi
pengalaman iman itu terwujud dalam persekutuan, ajaran, dan ibadat yang
mendorong orang secara individual atau komunal untuk melaksanakannya dalam
hidup dan keterlibatan sehari-hari.
Akan tetapi, perlu disadari bahwa yang
diimani oleh manusia mengatasi segalanya. Allah tidak mungkin ditangkap
sepenuhnya oleh kenyataan dunia ini, juga tidak oleh agama manapun. Seandainya
tidak demikian, berarti bahwa Allah dapat dibatasi dan dikuasai oleh kenyataan
dunia. Setiap agama mengkomunikasikan pengalaman itu melalui simbol-simbol
verbal dan non-verbal. Melalui simbol-simbol tersebut manusia secara terbatas
menghayati relasinya dengan Allah. Semua agama mempunyai keunikan masing-masing
sesuai dengan sejarah pengalaman iman masing-masing. Keunikan itu tampak dalam
simbol-simbol yang ada dalam agama masing-masing yang merupakan sarana
berhubungan dengan Allah. Mengakui dan menerima pluralisme agama seperti yang
menjadi salah satu sasaran Dignitatis Humanae art. 1, tidak
hanya berarti mengakui adanya fakta kemajemukan agama, tetapi sekaligus
mengakui kenyataan bahwa simbol-simbol agama manapun mengungkapkan hubungan dengan
Allah yang juga terbatas sifatnya. Menerima realitas pluralisme agama seperti
yang ada di Indonesia berarti menerima keterbatasan simbol-simbol tersebut dan
oleh karena itu diperkaya oleh dan dan memperkaya simbol-simbol agama lain.
Inilah sikap pluralis yang berintegritas terbuka seperti yang diharapakan oleh
Gereja Katolik.
Oleh karena itu, Dignitatis
Humanae art. 1 mengajak semua insan Indonesia agar mempunyai tangung
jawab bersama untuk membuka diri, diperkaya, dan memperkaya yang lain. Untuk
dapat mejalankan tanggung jawab itu, manusia memerlukan kebebasan dalam
menggunakan dan memperkembangkan simbol-simbol yang ada dalam agamanya
masing-masing. Keyakinan mengenai agama pilihan saya yang paling dapat
dipertanggungjawabkan, tidak dapat menjadi alasan untuk memaksakan agama saya
kepada orang lain. Di sini harus dibedakan antara kebenaran dan kebebasan.
Menjunjung tinggi kebebasan berarti memberi ruang kepada orang lain untuk
memilih kebenaran yang menurut suara hatinya paling dapat dipertanggungjawabkan,
juga apabila hal itu saya anggap kurang atau tidak tepat. Kenyataan bahwa saya
memilih agama ini dan bukan agama itu tidak berarti bahwa saya berada dalam
keadaan sempurna dalam memahami dan menempatkan Yang Ilahi beserta seluruh
kenyataan hidup. Dalam paradigma holistik, setiap orang dalam setiap kelompok
mempunyai sumbangan dalam keseluruhan dan keseluruhan lebih besar daripada
jumlah bagian-bagian. Penghargaan tulus kepada umat beragama lain dan
kesediaan belajar dari mereka tidak mengambil sikap “semua agama sama saja”.
Inilah yang mau dihindari oleh Gereja katolik. Karena seandainya semua agama
sama saja maka satu sama lain tidak akan dapat saling memperkaya. Semua
mempunyai sumbangan satu terhadap yang lain justru karena semua agama tidak
sama. Tanpa kemampuan untuk menerima sumbangan dari agama lain, orang atau
kelompok akan dirugikan dan begitupun secara keseluruhan. Kebebasan beragama
merupakan hak asasi manusia. Dialog dan kerja sama antar umat beragama
merupakan kewajiban dan tanggung jawab asasi juga.
Kewajiban-kewajiban tersebut mengajak umat
beragama menolak kerukunan atau harmoni palsu, yang menutupi
perbedaan-perbedaan, untuk mengakui dan menerima perbedaan-perbedaan, untuk
mengakui dan menerima pluralisme dengan senang hati, sebab dengan demikian
hidup beragama akan saling memperkaya. Harmoni palsu seolah-olah menampilkan
sikap terbuka, namun tidak cukup serius menghargai kekhasan agama masing-masing
sebagai tradisi yang hidup. Sikap yang tepat adalah “mengakui dan menerima
kehasan agama masing-masing sekaligus terbuka untuk saling belajar dari yang
lain.” Sikap ini berarti memasuki dialog dengan integritas jelas dan
keterbukaan yang tulus. Seorang dengan sikap tersebut dapat berkata “saya
meyakini agama dan iman saya sekarang ini adalah yang paling benar bagi saya
dan karena itu saya anut dengan senang hati. Namun, kekhasan masing-masing
agama dan kebebasan beriman dan beragama orang lain saya terima dan akui.”
Melalui dialog saya bisa menerima kekayaan dari agama dan keyakinan orang lain.
Kesimpulan
Pengakuan akan kebenaran-kebenaran yang
terdapat dalam agama-agama dan kepercayaan lain seperti yang tertuang dalam
Deklarasi Dignitatis Humanae (art. 1) mau menunjukkan
penghargaan Gereja terhadap kebebasan manusia. Gereja beranggapan bahwa
kebebasan sebagai hak asasi yang dianugerahkan Allah kepada setiap orang sesuai
dengan kodratnya sebagai ciptaan dan citra-Nya. Setiap orang berhak, tanpa
paksaan dari pihak manapun baik negara maupun masyarakat dan umat beragama
tertentu, mempergunakan kebebasannya untuk memilih dan menentukan apa yang
paling baik dan benar menurut tuntunan hati nuraninya sendiri, termasuk untuk
memilih dan menentukan agama dan kepercayaan yang mau dianutnya. Maka,
penghargaan terhadap kebebasan untuk memeluk agama dan menjalankan ibadat
adalah perwujudan dari penghargaan terhadap martabat pribadi manusia. Dengan
memberi pengakuan akan kebebasan beragama, Gereja Katolik meninggalkan pola
pikir lama bahwa yang salah tidak memiliki kebenaran.
Di Indonesia sendiri, hak setiap warga
untuk memeluk agama dan untuk beribadah menurut agama dan kepercayaannya
diakui. Pengakuan ini secara eksplisit tercantum dalam sila pertama Pancasila
dan pembukaan UUD 1945, aliena ketiga dan dijabarkan lebih lanjut dalam pasal
ke-29. Dengan demikian, sesungguhnya bangsa Indonesia sejak kemerdekaannya
telah mengakui fakta pluralisme agama dan kepercayaan di kalangan rakyatnya dan
memberi perlindungan hukum yang sama kepada setiap agama dan warga negara.
Namun cita-cita luhur yang terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945 tidak
sepenuhnya terealisasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sehari-hari.
Kekerasan yang dilakukan terhadap kelompok minoritas atas nama agama mayoritas
sering terjadi. Pandangan mayoritas dan minoritas turut menghambat terciptanya
kerukunan. Agama seringkali tidak dipandang sebagai institusi moral yang
mengajarkan nilai-nilai yang harus dihidupi untuk menciptakan
kesejahteraan bersama, melainkan sebagai ideologi yang sempurna. Akibatnya,
agama lain tidak lagi dilihat sebagai partner untuk menciptakan kesejahteraan
bersama melainkan sebagai saingan yang harus dienyahkan. Untuk dapat mengatasi
situasi ini perlu adanya dialog yang terbuka dan tulus antar umat beragama dan
kepercayaan. Tujuannya, untuk saling memperkaya bukan untuk menyamakan agama
atau untuk saling menguasai. Dasar dari dialog adalah kesadaran bahwa tidak ada
agama yang secara penuh dan sempurna dapat mewadahi Allah. Dialog yang benar
dan sehat akan semakin membentuk kesadaran akan keberagaman dan penghargaan
akan perbedaan serta dapat memperkaya penghayatan iman dalam masing-masing
agama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar